Cerita Fiksi Karangan Saya Yang Ngak Jelas

Selasa, 30 Juni 2015

Goodbye Part 3

Tidak ada komentar :
Kau merintih dalam bisu. Menyusupkan jarum jarum berkarat ke dalam sudut hatimu, ah bahkan rongga dalam hati yang kau punya sudah terlalu berlubang, terlalu banyak lubang. Sampai sampai kau selalu terjerembab setiap kali melangkah. Jarum jarum yang kau semai itu, hanya menggesek dan menancap rapuh. Tapi kau tak berhenti. Kau tak bisa menghentikannya.
Kau menikmatinya, eh?
Kau tertawa dalam perih. Lagi lagi.
Menertawakan kehidupan macam apa yang kau punya.
Seorang laki-laki memuntahkan benih dalam rahim ibumu, lalu muncullah kau. Laki laki sialan yang seharusnya kau panggil ayah, tapi hanya muncul beberapa tahun sekali. Bahkan di akte kelahiranmu, hanya muncul nama ibumu. Tidak mengherankan bukan? Sedari awal kau sudah tahu ibumu hanya satu dari sekian banyak selir pria tua itu.
Lucu.
Bahkan ibumu pun tak terlalu peduli. Ia masih bisa menikmati hidup,
Tidak dengan kau.
Ibumu sudah menggelepar penuh tawa dengan gelimangan harta yang ayahmu taburkan tanpa perhitungan.
Tapi tidak dengan kau.
Kau terluka. Sangat terluka. Ayah yang tak pernah membelai rambutmu, ibu yang tak pernah memeluk punggungmu.
Lalu, datanglah pria itu. Pria yang berdiri di depanmu dengan tameng bajanya. Melindungimu dengan sangkar emasnya.
Menghujanimu dengan jutaan jarum, yang ia bilang cinta.
Pria itu, menjadikanmu dunianya. Dunianya adalah wilayah yang tak boleh disinari matahari, karena ia takut kuncup bunga akan mekar dan mengundang kumbang. Ia juga tak mengijinkan angin mengepakkan sayapnya mendekatimu, karena ia takut kau akan belajar terbang dan mencari jalan pulang. Ia hanya membiarkanmu dibalut hujan. Karena hujan selalu memperangkapmu.
Dan kau tak pernah bisa kemana mana.
Kau sudah kehilangan cahaya, sejak lama.
Semua adalah takdir yang kau terima tanpa penawaran. Kau tak pernah berusaha untuk mengangkat dagu bukan? Setiap inci dari hidupmu telah tersegel oleh kekasihmu, dan kau cuma diam. Kau cuma pecundang yang bahkan tak punya teman.
Teman?
Mendadadak kepalamu pening. Ratusan keping kenangan berpendar menjerit jerit dalam tempurung kepalamu. Seolah olah ada cambuk yang memaksa kepingan kepingan itu berputar.
Senja.
Kopi.
Angin.
Pohon cherry.
Danau.
Suara baritone.
Figo.
Dan kau kembali tercekat.
"Ibuku pernah bilang aku punya beberapa adik"
Suara baritone itu. Menampar kesadaranmu.
Kau mengejap kejapkan mata beberapa kali. Mencoba menata lubang memori yang tersusun acak.
Kau menelan ludah dengan sesak.
Kau disini, bersamanya. Di kedai yang sama. Di depan hamparan air danau yang serupa warna langit, tapi menghitam karena pantulan malam.
Dengan angin yang sesekali memainkan ujung rambutmu, dan suara serangga nakal yang menggoda sepi.
Hari ini, hari kedua sejak kau mengetahui jati diri pria yang selama setahun belakangan ini mengacaukan aliran darahmu, menuangkan cat biru ke dalam auramu yang semula suram, dan membunuh berlahan sepi yang selama kau ini kau anggap sebagai sejatinya teman.
Perlu puluhan jam sejak pertemuan mengejutkan itu, ketika kemudian, beberapa saat yang lalu, pria tsb mengirimkan pesan singkat, untuk bertemu. Kali ini sebagai kakak, bukan sebagai matahari.

"Ibuku pernah bilang aku punya beberapa adik" ulang Figo. "Tapi tak kusangka kau adalah salah satunya" lanjut Figo, mendesah. "Dunia memang sempit, yaa?" desisnya.
"Maafkan aku" ujarmu, menahan sesak.
"Untuk apa?" tanyanya.

Kau membelai rambut hitam cepak -milik pria itu - untuk pertama kalinya-. Ahh kau bertaruh pasti jantungmu akan meledak beberapa menit lagi.

"Untuk semuanya. Untuk kesalahan ibuku. Untuk keberadaanku. Untuk penderitaan ibumu.. Ibumu istri pertama pria tua itu kan? Pasti tak mudah, menerima kelakuan... Ayah kita" ucapmu menahan perih.

Figo tersenyum. Raut mukanya yang semula tajam, kini melembut.
Ia berbalik menatapmu. Menyebarkan sorot mata teduh, yang menenangkan,  sekaligus menyesakkan. Kau berniat membuang muka, tapi sepasang tangan kekar menahan wajahmu, agar tetap berada segaris dengan netra safirnya.
Dadamu bergemuruh. Kau belum bisa.
Debaran yang tak seharusnya ada itu memenjarakan ekspresimu. Ingin, ingin sekali kau menangis tersedu sedu. Memuntahkan emosi yang menganak sungai. Mengubur perih yang membuncah tanpa alur.

"Kau tak seharusnya minta maaf. Tak ada yang salah, ibumu, ibuku, ayah, dan kita. Tak ada terdakwa disini. Kita semua berada di sebuah garis lurus yang berhimpitan. Saling terkait, tapi melengkapi"

Kalimat yang mengalir lancar dari mulut Figo, merasuki rumah siput di telingamu. Kau tersenyum ketika kalimat itu diproses dengan sempurna oleh otakmu.

"Mau aku ceritakan sebuah cerita tragis?" tawar Figo.

Kau mengerutkan kening. Apalagi ini? Kau masih terbuai oleh kehangatan kata kata Figo tentang saling melengkapi, tapi tentang cerita tragis? Apakah emosimu akan kembali berdansa kacau? Kau sadar, kau sangat mudah diperdaya suasana hati, apalagi oleh pria yang tengah menatapmu lekat lekat saat ini.

"Baiklah" cicitmu. Kau takut. Kau takut bila kau bilang tidak, ia akan membalikkan tubuh lalu melangkah pergi. Kau belum siap untuk berbagi malam dengan sang sepi.

"Aku menyukaimu"

Kau membelakkan mata. Ada sejuta letupan di dadamu. Kau tak mengerti apa itu. Yang kau tahu, percikan air telah lolos dari sudut matamu. Kau menangis - untuk pertama kali- di hadapan Figo, kakakmu.
Dan ia bukan tak sadar melihat wajahmu yang mulai basah. Ia sama sepertimu, tercekat oleh sebongkah sesak yang menghimpit dalam-dalam.

"Pada akhirnya, aku harus mengatakannya. Kau harus memulai sesuatu sebelum mengakhirinya kan? Dengan ini, dengan resmi, aku melepasmu."

Kau masih membisu. Mencoba mengambil nafas dalam dalam. Tapi kau gagal. Kau justru tergugu. Dadamu sesak. Kebisuanmu bertransformasi menjadi tangisan tertahan yang menyedihkan.

Kau meraung semakin keras. Emosi yang kau tahan sekian lama meledak tanpa bisa kau cegah. Kau yang biasanya menangis di sudut kamar, menangis sendiri ditemani sepi. Kau yang biasanya punya kontrol luar biasa atas emosimu. Mendadak hilang kendali. Ahh, tak mengherankan, bukankah sumbunya telah terpantik sedari awal. Hanya saja kau selalu meniupnya dengan sisa-sisa nafasmu. Kau lelah. Kau lelah sekali. Kau ingin berlari dan bersembunyi. Kau lelah. Kau sangat lelah. Kau sudah tak mampu bertahan lagi.
Kau merasakan sebuah lengan menarikmu. Lalu kau bisa merasakan udara di sekitarmu menghangat. Sebuah pelukan. Dan tangismu semakin memburu. Pertama kalinya, kau melepaskan topeng tegarmu, yang bahkan Maru pun tak pernah melihatnya.

"Jauhkan tanganmu dari kekasihku, BANGSAT!!"

BUAAAGHHH!

Semua berkelebat dengan cepat. Ketika kau sadar, kau sudah berada dalam cekalan seseorang. Dan satu meter di depanmu, kau bisa melihat kakak tersayangmu tengah tersungkur setelah sebelumnya menabrak meja. Sudut bibirnya robek. Jangan tanya siapa pelakunya.

"Terimakasih atas salam perkenalannya, Tuan Maru. Manis sekali. Senang berkenalan dengan Anda" Figo menyeringai. Ia menjilat sisi bibirnya yang terluka dengan ekspresi mengejek. Kau bisa melihat ia bangkit dengan sedikit limbung. Sepertinya punggungnya terluka saat menabrak meja.

Di sisi lain, ekor matamu menangkap rahang Maru mengeras. Tangan kanannya mengepal, hingga buku jarinya berubah memutih. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram tangamu dengan sangat protektif. Sensasi perih menjalar berlahan di tanganmu. Kau kesakitan.

"Maru, sakit. Lepaskan" bisikmu tertahan, sepelan mungkin. Berharap hanya kekasih liarmu yang mendengar.

Tapi sayang, cicitan lemahmu terdengar sampai ke telinga Figo. Oh, sepertinya kau harus mulai waspada terhadap pendengaran tajamnya.
Figo mengalihkan pandangan ke tanganmu yang dicekal erat oleh Maru. Wajah yang semula menyeringai, mendadak berubah. Atsmosfir dingin khas malam hari, mendadak semakin jauh dari kata hangat, seiring ekspresi serius yang Figo jahit di wajahnya.

"Lepaskan, kau menyakitinya, tuan"

Maru menajamkan tatapan matanya. Dan kau justru semakin kesakitan karena Maru mengeratkan kaitannya.

"Jangan sentuh Ruuga, dia calon istriku"

"Dan dia adikku"

Terdengar bisik bisik di sudut kedai. Beberapa orang tampak menatap kalian dengan ekspresi penasaran. Kau tahu? Kau seperti gadis manis di drama korea yang diperebutkan 2 chaebol tampan.

Kau menahan nafas. Kau tak menyukai situasi ini.

"Maru, ayo pulang." Kau menepuk dada Maru dengan satu tanganmu yang bebas. Maru mendengus. Ia merasa menang, ia diatas awan.

"Kau pulang denganku, Ruuga. Pria itu, tak akan pernah menjadi suamimu!" teriak Figo lantang.

Kau terisak. Bukan. Bukan ini yang kau mau. Kau memang ingin bahagia, kau memang ingin lepas dari cangkang yang Maru cetak pada tubuhmu. Tapi kau juga tak ingin siapapun terluka, tidak Maru, tidak Figo. Tidak ada yang boleh terluka!

"Cih, kakak macam apa kau! Kau baru mengenalnya semalam. Kau tahu, aku sudah bersamanya saat kau masih mengisap jempolmu!"

"Hei hei. Jangan terlalu sombong, tuan. Kau memang kekasihnya. Tapi sepertinya kau tak bisa memperlakukan kekasihmu dengan baik. Apa kau pernah menanyakan apa ia bahagia bersamamu"ejek Figo.

"BRENGSEKK!!"

BUAAAGHHH!

Kau menjerit. Kepalan tangan Maru yang mengeras lagi lagi menghantam salah satu sisi kepala Figo.
Kali ini Figo tak tinggal diam. Detik selanjutnya kau menyaksikan kedua orang yang mengisi hidupmu tengah bergelut dengan liar. Saling menendang, saling memukul, saling menghantam, saling menginjak.

Kau semakin histeris. Kau tak tahu harus berbuat apa. Kau kembali merasa tak berguna. Tapi.. Tapi kau harus berbuat sesuatu.

Kau melompat ke tengah arena. Menarik tangan Maru yang hendak melayangkan tinju ke wajah kakakmu. Kau memeluknya. Kau menangis. Kau tergugu dalam isakan perih.

"Cukup Maru, cukup." Kau menenggelamkan kepalamu dalam bidang dada kekasihmu.

Nafas Maru menderu kacau.

"Biarkan aku pergi, sebentar saja. Aku akan kembali. Aku pasti kembali. " jeritmu dalam pilu. Kau memeluk Maru, penuh emosi. Kau berjinjit semampumu, mencoba menyamakan tinggimu dengan tinggi Maru yang jauh diatasmu. Lalu dengan sekejab kau mengecup bibir Maru singkat. Meninggalkan goresan ekspresi keras yang mulai memudar di wajah kekasihmu.

Kau lupa, tak jauh dari tempatmu berdiri, seraut wajah tampan tengah membuang muka. Ia, kakakmu, mendecih kesal. Wajah yang biasanya minim ekspresi itu mendadak menanggalkan image cool-nya. Ia cemburu, mungkin.

"Biarkan aku pulang dengan kakakku" cetusmu.
Maru mengerling tak rela. Ia menahan nafas. Tapi kecupan yang hanya sepersekian detik tadi, mampu membunuh naluri monsternya. Ia berfikir sejenak. Ditelisik tiap sudut wajahmu. Matamu yang sendu, membuatnya melemah.

"Besok aku jemput kau dirumah. Ingat itu" Maru berbalik arah dan pergi tanpa aroma. Meninggalkanmu yang tengah membantu Figo berdiri.

Kau mendesah, nyaris saja liquid bening kembali menggenangi matamu kalau saja sebuah tangan kokoh mengacak acak rambutmu.

"Ayo, aku antar pulang"

Dadamu yang sesak berlahan mendingin. Bahumu direngkuh, dituntun seolah kau adalah kaca yang rapuh.
Dan kalian berjalan menghilang melenyapkan tatapan para penggunjing di sudut kedai.

Goodbye Part 2

Tidak ada komentar :
Hujan pernah bernyanyi
Ia merindu Matahari
Kala semusim semi datang membawa cawan
Menadahkan butiran keajaiban
Sewarna pelangi pagi
Bermuara di tepi telaga

Hujan masih menunggu malam
Agar ia bisa turun tanpa bersembunyi
Serapuh titian langit yang mengembang
Mencoba lari
Dari perasaan yang menyetubuhi


Angin malam berhembus damai. Menggoyangkan dedaunan yang bertengger manis di dahan cherry. Sesekali suara serangga malam memecah sunyi. Menjadi senandung alam di tepian danau yang berair jernih.
Sepasang manusia, di sudut kedai kecil, tengah bergelut dalam sepi. Bibir mereka menyatu, pun dengan jemari yang awalnya hanya menggapai udara, kini bertaut tanpa jarak.
Sekian menit kemudian, Figo, sang pria tsb, melepas kuncian salivanya.
Ia menunduk, tanpa suara. Sedangkan Ruuga kembali membuang muka. Perempuan itu terlalu shock untuk hanya sekedar menganalisa apa yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berderu liar, setengah dari tubuhnya masih gemetar, dan matanya menjadi sewarna dengan kaca. Ia berharap ini cuma ilusi

"Maaf" sepotong suara baritone menyentak kesadaran Ruuga. Ia yang berharap ini cuma tipuan imajinasi, berangsur meletakkan kesadaran pada tempatnya. Berarti memang benar, Figo baru saja menciumnya.

"Kenapa?" cicit Ruuga. Diberanikan dirinya menatap pria berparas tampan itu. Ditatap lekat-lekat kolam jernih yang tersembunyi dibalik bola mata Figo. Mencari jawaban.

"Aku tak tahu. Aku tak sengaja. Hanya emosi sesaat. Abaikanlah" kilah Figo.

Ruuga menggigit bibir bawahnya kelu. Bukan jawaban itu yang ia harapkan. Hei, apa kau mengharapkan Figo mengatakan ia menyukaimu? Ruuga merutuki inner sialannya.

"Maaf. " Sekali lagi. Figo mendesiskan kata itu.

Ruuga menunduk.

Helaian rambut panjangnya dibelai dengan lembut. Sebuah tangan kekar menyibak poni yang menutupi keningnya. Sejurus kemudian tangan itu meraih dagu Ruuga. Mengajaknya menatap kembali lawan bicaranya.

"Katakanlah aku brengsek. Tapi aku tak pernah merencanakan hal tadi. Aku tak bermaksud me.. Ya menciummu. Semua cuma reflek bodohku. Lupakanlah. Anggap tak pernah terjadi. Jalani semua seperti biasa. Bertemanlah denganku sebisamu. Toh jika kau menikah, dan tak bisa lagi berteman denganku, tak apa. Mungkin kita cuma sepasang musim yang bertemu di tahun yang salah"

Sepasang musim yang bertemu di tahun yang salah?

Ruuga mencoba mencerna kata-kata Figo barusan. Tapi tak ada makna yang ia petik dari kiasan rumit itu.

Figo berdiri.

Ia tak bisa lama-lama disini. Ia tahu. Ia bisa merasakan otak sehatnya tak bisa berfungsi dengan baik bila ia lebih lama menatap Ruuga. Bibir tipis perempuan itu, ah entah sejak kapan berubah menjadi pusaran air yang menghisap kesadarannya. Udara yang biasa ia bagi dengan Ruuga, entah sejak kapan menjadi racun yang menyesakkan dada.

"Aku pamit. Magenta sudah kelaparan. Aku harus memberinya makan. Kau bisa pulang sendiri kan? Atau perlu kupanggilkan Taxi?"

"Tidak, terimakasih. Aku masih ingin disini. Mungkin nanti aku akan meminta Maru menjemputku"

'Jadi, nama pria itu, Maru?' Gumam Figo dalam hati.

Figo memaksakan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk lengkungan lebar yang ia percaya pasti terlihat sangat palsu. Tapi tak apalah, daripada memasang raut perih yang menyedihkan.

Ruuga melambaikan tangannya ketika punggung Figo berbalik dan mulai memudar ditelan jarak. Punggung itu semakin mengecil kemudian menghilang dibalik malam.

Ruuga merasakan dadanya semakin sesak. Liquid bening yang sedari tadi bergolak ingin jatuh, akhirnya berceceran di sudut matanya. Merembes tanpa permisi. Menyusuri pipi dan wajahnya. Menjadi teman dari isakan pahit yang coba ia telan setengah mati. Tapi ia gagal. Ia tergugu dalam sesak. Membuat nafasnya tersenggal senggal menetralisir emosi.

Ia seharusnya mengakui kalau ia lemah.

Seharusnya ia menangis saat Figo masih disini. Paling tidak, akan ada tangan hangat yang mengusap punggungnya. Menyapu bercak air matanya.


Tapi, egonya tak mengijinkan hal itu.


**********

Malam Seribu kejutan, 60hari kemudian

Ruuga's Point Of View

Aku kembali mengulaskan pewarna bibir berwarna merah muda itu dengan lembut. Lalu mengulum bibirku singkat. Memastikan warnanya cukup merata dan tidak terlalu kontras dengan kulit langsatku.
Suara ketukan menggema dibalik pintu kamarku.
Pasti Maru.

"Masuklah" jawabku.

Pintu berdecit. Seorang pria berkaca mata muncul dengan tenang. Seketika aroma maskulin menyeruak ke seisi kamar.

Maru mengecup puncak kepalaku.

"Kau sudah siap?" tanyanya hangat.
Aku mengangguk.

"Ini kan cuma makan malam keluarga" ujarku.

"Haha. Kau selalu tak peduli dengan apapun. Sepertinya kau sama sekali tak pernah merasa gugup."

"Kau berkata seolah baru mengenalku selama beberapa hari" ejekku sambil membalikkan tubuh. Bangkit dari meja rias, lalu menghadap pria yang beberapa puluh hari lagi akan menjadi suamiku.

Maru memelukku kemudian. Menenggelamkan wajahnya di sudut antara leher dan kepalaku. Mengusap punggungku penuh perasaan.

"Aku memang sudah mengenalmu selama puluhan tahun. Bukankah kita sudah bersama semenjak Taman Kanak Kanak? Dan juga, aku tak mungkin lupa kalau aku sudah menandaimu menjadi milikku saat kita memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Jadi, sudah berapa tahun kita menjadi sepasang kekasih?"

"12tahun" jawabku di luar kepala.

"Anak pintaaaar"

Maru mencubit pipiku gemas. Aku tersenyum kaku.

12tahun.
Bukan waktu yang singkat. Pria yang ada di hadapanku ini adalah penguasaku. Sedangkan aku adalah poros hidupnya. Rumit? Benar.
Semua yang ada di dalam diri Maru adalah kesempurnaan. Ia tampan. Sangat tampan. Seperti porselen mahal yang berkilauan. Wajahnya menarik, juga perilakunya. Ia seorang pria bangsawan yang sopan dan penuh perhitungan. Otaknya cemerlang. Jangan tanyakan kenapa ia bisa lulus jauh lebih cepat dariku meski kami seumuran. Salahkan kecerdasannya.
Ia adalah lagu dengan melody yang indah.
Tak ada cacat. Mungkin itulah yang semua orang lihat dari binar terangnya yang memukau.
Mungkin bagiku ia juga sempurna.
Ia kekasih yang sangat mencintai pasangannya. Ia adalah satu dari sedikit pria yang terlalu setia terhadap wanitanya. Ia adalah bumi yang selalu berputar pada satu poros.

Aku.

Ia bukan sekedar mencintai.

Ia terobsesi. Ia tergila-gila. Ia sakit jiwa.

Bagaimana mungkin? Entahlah.

Beruntungkah aku menjadi segalanya bagi Maru? Entahlah.

Aku adalah kelemahan terbesar Maru. Tapi juga kekuatan dan nyawa pria berwajah teduh itu.
Ia akan menghabiskan semua udara yang ada disekitarku bila aku bertukar pandang dengan pria lain.
Ia akan bertransformasi menjadi monster haus darah bila aku membiarkan pikiranku berkelana pada objek lain.
Ia akan mencabik cabik setiap inci bagian dari siapapun yang berani menyentuh seujung kuku dari diriku.
Ia tak akan takut untuk menyakitiku bila aku berani sedikit saja melangkah melewati garis kepemilikan yang telah ia ukir sendiri. Tanpa persetujuanku.

Ahh. Hanya memikirkannya membuat sesakku membuncah.
Dan membuat jiwa jalangku merindukan Figo.


End of Ruuga's Point Of View

********


"Ayahmu akan datang ya?" tanya Maru hati hati. Pria itu tahu. Ruuga sangat sensitif setiap membahas pria yang menjadi asal muasal kehidupan perempuan itu.

"Sepertinya" cetus Ruuga singkat.

Ayah Ruuga sudah keluar dari kehidupannya semenjak ia membuka mata untuk pertama kali. Ruuga hanya salah satu anak dari sekian banyak perempuan yang bandit tua itu miliki. Ruuga pun tak tahu pasti, berapa istri ayahnya, berapa banyak saudara sedarahnya. Sepertinya jari di tangannya tak cukup untuk menghitung.

Restoran mewah itu tampak cukup lenggang. Faktor dari jarak meja ke meja yang lumayan jauh. Sepertinya memang didesain untuk acara formal. Beruntung, mereka mendapat reservasi di meja yang strategis. Meja yang terletak di pinggir kolam, dengan lilin aromatherapy yang mengambang indah. Serta gemericik suara air, mengalir dari pancuran yang di desain elegan.

Air.
Kolam.
Danau.

Dan Ruuga kembali mengingat Figo. Sosok yang tak pernah ia nikmati bayangannya selama 2bulan belakangan.
Ruuga merutuki pikirannya sendiri.

"Kata ayahmu, 5 menit lagi beliau sampai" terdengar suara feminim memecah lamunan Ruuga. Ruuga hampir lupa, di samping kirinya ada ibunya. Yang entah mengapa masih menghormati dan menyayangi ayah Ruuga.
Dan di samping kanannya ada Maru, lengkap dengan kedua orangtua priab tsb.

Suasana kembali hening. Hanya terdengar obrolan ringan antara ibu Ruuga dan ibu Maru.

Waktu berjalan lamban. Ketika pada akhirnya sosok yang ditunggu tunggu datang.

"Selamat malam semua, maaf agak terlambat" ayah Ruuga membungkukkan tubuh. Lalu menyalami semuanya dengan hangat.

Ruuga mendongak. Mencoba tersenyum tipis.
Tipis
Tipis
Tipis

Lalu mendadak lenyap tanpa sisa setitikpun, ketika kornea matanya bertabrakan dengan sosok yang berdiri di samping ayahnya.
Ya ayahnya tidak datang sendiri.
Ayahnya bersama..

Figo.

Seketika nafas Ruuga tercekat. Tenggorokannya tak mampu berfungsi dengan sempurna. Begitupula sebaliknya, Figo, dibalik wajah minim ekspresinya, menguar aura keterkejutan yang hanya bisa dilihat oleh Ruuga.

Ini,

Apa?

"Oh ya, sekalian saya perkenalkan anak sulung saya. Saya sengaja membawanya untuk perwakilan keluarga besar. Figo, perkenalkan dirimu"

Dan mendadak dunia Ruuga menjadi gelap.

*********

Semilir oh Semilir
Menguasai rerumputan
Saat sang Semi datang
Pergilah Hujan
Saat Matahari menghilang
Datanglah bayangan
Dan kita menjadi kabut kabut palsu
Yang ditipu penguasa waktu


*********

To be Continue

*********


Kyaaaa ngetik sambil merem. Wkwkwk. Mau ditamatin, tapi tiba2 alur cerita berubah. Jadi kemungkinan 1 chap lagi. Haha.

Makasih yang udah apresiasi, love you all

Goodbye Part 1

Tidak ada komentar :
Perempuan itu menyesap kopinya berlahan lahan. Menikmati setiap tetesnya dengan mata terpejam. Sesekali dia menghembuskan nafas dengan berat. Seberat kecamuk di kepalanya.
Diletakannyan cangkir kopi tsb. Matanya menerawang menjelajahi setiap sudut tempat itu. Sebuah kafe kecil, ah bukan, lebih tepatnya kedai kecil, dengan beberapa bangku dan meja yang kosong. Dan seorang perempuan setengah baya, yamg ia duga pemilik kedai, tengah terkantuk kantuk di pojok ruangan.
Kedai ini terletak diatas danau. Sebuah danau buatan yang tak terlalu besar, tapi cukup indah. Berada di pinggiran kota. Menjadikan tempat ini tak terlalu ramai pengunjung.
Dari atas tempat perempuan itu duduk, bisa terlihat hamparan air jernih yang warnanya serupa langit, dengan puluhan pohon cherry yang mengelilinginya.
Ahh tempat yang menenangkan untuk membuang penat.
Ahh. Benar. Membuang penat.

Ia melirik ponselnya.

Jam 20:15

Berarti sudah hampir satu jam ia menikmati kesunyiannya sendirian. Rekor tersendiri bagi seorang perempuan yang belakangan ini selalu ditemani seseorang disetiap waktu senggangnya.
Sepertinya ia mulai resah. Ia benar-benar tak tahan. Padahal, sebelum keluar rumah tadi, ia sudah berjanji untuk menahan segala perasaannya, kerinduannya, keinginannya untuk..
Kembali dilirik ponselnya. Kali ini diraihnya dengan bimbang . Ditekan sederet angka, lalu diketik sebuah pesan.

"Bisa datang ke tempat biasa? Aku membutuhkanmu"

Dia mendesah. Lebih berat dari sebelumnya. Kesalahan. Kembali kesalahan yang sama ia buat dengan kesadaran 100%.
Pikirannya berkecamuk dengan hebat. Ia merasakan matanya memberat oleh genangan yang entah sejak kapan tertahan di pelupuk matanya.
Ia bertahan untuk tidak menangis.
Dan mulailah berbagai kenangan menari nari di kepalanya. Mengikis perisai nalurinya.  Seharusnya ia sadar kalau ia lemah. Ia hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya.

**************"

Perempuan itu mencondongkan tubuhnya. Menempatkan kepalanya diatas meja. Matanya terpejam untuk sepersekian detik lalu kemudian terbuka ketika  ia mendengar langkah kaki mendekat.
Terasa kepalanya ddiusap. Helaian panjang rambutnya dibelai dengan lembut.
Ia mendongak.
"Cepat juga.." Desis perempuan itu.

Sesosok pria tinggi terkekeh. Pria berbalut jaket hitam dan celana jeans gradasi biru itu tersenyum kemudian.

"Aku sedang berada tak jauh dari sini. Kau tahu Pet Shop yang di depan perempatan? aku ada disana untuk membeli makanan Magenta" jelasnya secara detail.
Magenta adalah anjing pria tersebut. Anjing golden tampan yang sangat ramah.

Sosok tsb menjatuhkan pantatnya di kursi samping tempat pengundangnya duduk.

"Lalu, ada apa?" Lanjutnya.

Sang perempuan menggelengkan kepalanya lemah. Mengeratkan jemarinya pada gagang cangkir kopi. Berlahan diangkatnya cangkir tsb. Kembali menyentuh ujung cangkir dengan bibir pucatnya.

"Figo.. " desahnya gusar. Menyebutkan nama pria yang tengah ada dihadapannya.
Figo menaikkan satu alisnya. Sudut bibirnya ditarik meruncing. Menandakan dia menunggu lanjutan kalimat sang perempuan.

Tapi tak ada gumaman lagi yang keluar dari mulutnya. Ia kembali menenggelamkan kepala ke dalam lengannya yang tertumpu di atas meja.

"Kau adalah orang paling berisik yang aku kenal, tapi begitu memiliki masalah, kau justru menjadi orang paling misterius. " Sindir Figo.

Sang perempuan mengangkat kepalanya dengan malas. Ya, sulit. Ia tak terbiasa berbagi masalah. Egonya, harga dirinya, kesombongannya, membuatnya enggan merendahkan diri untuk meminta bantuan. Bahkan, menceritakan kesulitannya, terdengar sangat menggelikan. Kebodohan yang ia sebut harga diri tak mengijinkan itu.
Tapi sungguh. Ada kalanya ia butuh partner bicara. Bukan. Bukan teman diskusi. Lebih tepatnya diskusi satu arah. Ia tahu ia tak suka mendengarkan saran. Ia hanya ingin didengarkan. Berkonfrontasi dengan pikirannya sendiri, mencari penyelesaian dengan caranya sendiri. Teman bicara hanya bertugas menjaga pikirannya berada di koridor yang benar.
Tapi berbeda dengan Figo.
Hanya dengan @ni. Topik ini, topik yang sangat dihindari oleh Figo maupun dirinya.
Mereka hampir tak pernah membicarakan hal2 berat. Masalah pribadi? Seolah jadi rahasia masing2. Yang mereka tahu, mereka nyaman saat bersama. Hanya untuk berbagi waktu tanpa kata-kata.

"Mungkin beberapa bulan lagi"

Figo menelan ludah. Ya. Seharusnya ia tak terlalu kaget. Sebelumnya ia sudah tahu Ruuga memiliki seorang tunangan. Mereka menjalin hubungan sudah bertahun-tahun lamanya. Cuma itu yang Figo tahu.
Sisanya, hanya bahasa mata yang terkadang ia tangkap saat Ruuga memanggilnya tiba-tiba. Sering, terlalu sering Ruuga mengirim pesan padanya. Hanya untuk memintanya menemani perempuan bermata cokelat itu menatap danau. Sering, sering ia temukan mata Ruuga memerah setiap tatapan mereka bertemu.

Ia tidak baik-baik saja.

Itu yang Figo tahu.

Hubungan perempuan itu dengan kekasihnya tidak baik-baik saja.

Tapi Figo terlalu lelah untuk bertanya. Mungkin juga ia terlalu pengecut untuk mencari tahu. Figo dan Ruuga tak pernah membahas semua itu.
Mereka hanya saling memiliki dalam diam.

"Semoga kau bahagia" cetus Figo, tulus.

Ruuga tersenyum sendu. Ia mengerti. Pria yang dihadapannya ini bukan tipe orang yang seringkali merasa penasaran. Dan Ruuga pun seperti itu. Ruuga tidak suka berbagi. Dan Figo sangat tahu itu.

"Kau peduli?" serang Ruuga pelan. Tapi terdengar menyengat. Figo menerawang. Mencoba mengikuti alur pikiran Ruuga.

"Hmmm, Peduli? Tentang apa?"

"Tentang aku, semuanya"

"Ya mungkin saja" jawab Figo, ambigu.

"Kau bahkan tak menyukaiku"



**********

Figo's Point Of View


"Kau bahkan tak menyukaiku"

Ah.
Ya. Kau benar, seruku dalam hati. Tapi apa harus menyukai untuk peduli? Banyak alasan mengapa seseorang bisa menjadi baik tanpa permainan perasaan. Aku peduli hanya karena aku ingin. Aku juga cuma sedikit peduli. Tak banyak. Tapi kenapa aku peduli?
Entahlah.

Karena aku nyaman saat berada di sisimu.
Karena aku merasa tenang saat kau duduk disampingku, berada di sepanjang kekuasaan mataku.
Karena aku merasa damai saat aku tahu kau berbagi udara yang sama denganku.
Karena aku merasa berharga saat kau selalu memanggilku.
Karena aku ingin selalu, selalu, selalu melindungi senyummu yang seringkali menyeringai tipis setiap menatap langit.
Karena saat bersamamu, waktu terasa begitu berharga.

Cuma karena itu.

Tunggu.

Alasan-alasan itu..

Apakah cinta?

Bukan. Bukan seperti itu. Aku tak berdebar-debar saat berada di dekatmu. Aku justru merasa hangat dan nyaman.

Hangat dan nyaman.

Ah. Sial. Apa itu cinta?

Aku menggeram tertahan. Semua terasa menyesakkan. Aku tak pernah sadar aku selalu berlari setengah kesetanan setiap kau memanggilku lewat pesan singkat. Sejauh apapun kakiku berada, kapanpun kau membutuhkanku, akan kutarik keduanya tanpa jeda. Pun setiap aku melihat matamu yang memerah setiap kita bertemu, rasanya seperti ada luka di hatiku. Luka yang mengering di luarnya, tapi masih menyimpan ribuan goresan basah di dalamnya. Goresan yang begitu panjang dan dalam. Jangankan dibuka, disentuh saja rasanya nyeri. Dan di dalam goresan itu, seperti ada ribuan jarum yang bersembunyi di bawah kulit. Jika dibiarkan, jarum tersebut akan menciptakan luka luka baru. Menyemaikan rasa sakit yang tumbuh semakin subur. Tapi bila jarum jarum itu dicabut, entah seperti apa perihnya. Berapa lapisan yang harus ditembus? Berapa teriakan yang harus ditahan? Berapa ngilu yang harus ditelan?

Rasanya perih, menebakmu terluka karena pasanganmu.

Dan mendadak mataku nanar. Kilatan memori mengacaukan jarak pandangku. Emosiku tertahan di kerongkongan.

Sesak, sesak sekali.

Dan tanpa kode apapun, aku langsung menarik tubuh Ruuga pelukanku. Tanpa berpikir apapun, aku langsung melenyapkan jarak diantara bibir kami. Menenggelamkan bibirku dengan kasar kedalam bibirnya. Memaksanya membuka mulut, memaksa lidahku masuk.

Aku bisa merasakan mata Ruuga melotot. Aku bisa mendengar jantungnya berdetak kencang nyaris pecah karena terkejut.

Tapi aku tak peduli, semakin erat bibirku mengunci bibir perempuan bermata cokelat itu.
Dan Ruuga hanya diam. Tak membalas, sama sekali tak membalas, tapi juga tak melepas.

Ini salah. Ini lebih dari salah.

Aku sangat tahu.

***********

To be Continue

********