Selasa, 30 Juni 2015

Goodbye Part 1

Tidak ada komentar :
Perempuan itu menyesap kopinya berlahan lahan. Menikmati setiap tetesnya dengan mata terpejam. Sesekali dia menghembuskan nafas dengan berat. Seberat kecamuk di kepalanya.
Diletakannyan cangkir kopi tsb. Matanya menerawang menjelajahi setiap sudut tempat itu. Sebuah kafe kecil, ah bukan, lebih tepatnya kedai kecil, dengan beberapa bangku dan meja yang kosong. Dan seorang perempuan setengah baya, yamg ia duga pemilik kedai, tengah terkantuk kantuk di pojok ruangan.
Kedai ini terletak diatas danau. Sebuah danau buatan yang tak terlalu besar, tapi cukup indah. Berada di pinggiran kota. Menjadikan tempat ini tak terlalu ramai pengunjung.
Dari atas tempat perempuan itu duduk, bisa terlihat hamparan air jernih yang warnanya serupa langit, dengan puluhan pohon cherry yang mengelilinginya.
Ahh tempat yang menenangkan untuk membuang penat.
Ahh. Benar. Membuang penat.

Ia melirik ponselnya.

Jam 20:15

Berarti sudah hampir satu jam ia menikmati kesunyiannya sendirian. Rekor tersendiri bagi seorang perempuan yang belakangan ini selalu ditemani seseorang disetiap waktu senggangnya.
Sepertinya ia mulai resah. Ia benar-benar tak tahan. Padahal, sebelum keluar rumah tadi, ia sudah berjanji untuk menahan segala perasaannya, kerinduannya, keinginannya untuk..
Kembali dilirik ponselnya. Kali ini diraihnya dengan bimbang . Ditekan sederet angka, lalu diketik sebuah pesan.

"Bisa datang ke tempat biasa? Aku membutuhkanmu"

Dia mendesah. Lebih berat dari sebelumnya. Kesalahan. Kembali kesalahan yang sama ia buat dengan kesadaran 100%.
Pikirannya berkecamuk dengan hebat. Ia merasakan matanya memberat oleh genangan yang entah sejak kapan tertahan di pelupuk matanya.
Ia bertahan untuk tidak menangis.
Dan mulailah berbagai kenangan menari nari di kepalanya. Mengikis perisai nalurinya.  Seharusnya ia sadar kalau ia lemah. Ia hanya terlalu angkuh untuk mengakuinya.

**************"

Perempuan itu mencondongkan tubuhnya. Menempatkan kepalanya diatas meja. Matanya terpejam untuk sepersekian detik lalu kemudian terbuka ketika  ia mendengar langkah kaki mendekat.
Terasa kepalanya ddiusap. Helaian panjang rambutnya dibelai dengan lembut.
Ia mendongak.
"Cepat juga.." Desis perempuan itu.

Sesosok pria tinggi terkekeh. Pria berbalut jaket hitam dan celana jeans gradasi biru itu tersenyum kemudian.

"Aku sedang berada tak jauh dari sini. Kau tahu Pet Shop yang di depan perempatan? aku ada disana untuk membeli makanan Magenta" jelasnya secara detail.
Magenta adalah anjing pria tersebut. Anjing golden tampan yang sangat ramah.

Sosok tsb menjatuhkan pantatnya di kursi samping tempat pengundangnya duduk.

"Lalu, ada apa?" Lanjutnya.

Sang perempuan menggelengkan kepalanya lemah. Mengeratkan jemarinya pada gagang cangkir kopi. Berlahan diangkatnya cangkir tsb. Kembali menyentuh ujung cangkir dengan bibir pucatnya.

"Figo.. " desahnya gusar. Menyebutkan nama pria yang tengah ada dihadapannya.
Figo menaikkan satu alisnya. Sudut bibirnya ditarik meruncing. Menandakan dia menunggu lanjutan kalimat sang perempuan.

Tapi tak ada gumaman lagi yang keluar dari mulutnya. Ia kembali menenggelamkan kepala ke dalam lengannya yang tertumpu di atas meja.

"Kau adalah orang paling berisik yang aku kenal, tapi begitu memiliki masalah, kau justru menjadi orang paling misterius. " Sindir Figo.

Sang perempuan mengangkat kepalanya dengan malas. Ya, sulit. Ia tak terbiasa berbagi masalah. Egonya, harga dirinya, kesombongannya, membuatnya enggan merendahkan diri untuk meminta bantuan. Bahkan, menceritakan kesulitannya, terdengar sangat menggelikan. Kebodohan yang ia sebut harga diri tak mengijinkan itu.
Tapi sungguh. Ada kalanya ia butuh partner bicara. Bukan. Bukan teman diskusi. Lebih tepatnya diskusi satu arah. Ia tahu ia tak suka mendengarkan saran. Ia hanya ingin didengarkan. Berkonfrontasi dengan pikirannya sendiri, mencari penyelesaian dengan caranya sendiri. Teman bicara hanya bertugas menjaga pikirannya berada di koridor yang benar.
Tapi berbeda dengan Figo.
Hanya dengan @ni. Topik ini, topik yang sangat dihindari oleh Figo maupun dirinya.
Mereka hampir tak pernah membicarakan hal2 berat. Masalah pribadi? Seolah jadi rahasia masing2. Yang mereka tahu, mereka nyaman saat bersama. Hanya untuk berbagi waktu tanpa kata-kata.

"Mungkin beberapa bulan lagi"

Figo menelan ludah. Ya. Seharusnya ia tak terlalu kaget. Sebelumnya ia sudah tahu Ruuga memiliki seorang tunangan. Mereka menjalin hubungan sudah bertahun-tahun lamanya. Cuma itu yang Figo tahu.
Sisanya, hanya bahasa mata yang terkadang ia tangkap saat Ruuga memanggilnya tiba-tiba. Sering, terlalu sering Ruuga mengirim pesan padanya. Hanya untuk memintanya menemani perempuan bermata cokelat itu menatap danau. Sering, sering ia temukan mata Ruuga memerah setiap tatapan mereka bertemu.

Ia tidak baik-baik saja.

Itu yang Figo tahu.

Hubungan perempuan itu dengan kekasihnya tidak baik-baik saja.

Tapi Figo terlalu lelah untuk bertanya. Mungkin juga ia terlalu pengecut untuk mencari tahu. Figo dan Ruuga tak pernah membahas semua itu.
Mereka hanya saling memiliki dalam diam.

"Semoga kau bahagia" cetus Figo, tulus.

Ruuga tersenyum sendu. Ia mengerti. Pria yang dihadapannya ini bukan tipe orang yang seringkali merasa penasaran. Dan Ruuga pun seperti itu. Ruuga tidak suka berbagi. Dan Figo sangat tahu itu.

"Kau peduli?" serang Ruuga pelan. Tapi terdengar menyengat. Figo menerawang. Mencoba mengikuti alur pikiran Ruuga.

"Hmmm, Peduli? Tentang apa?"

"Tentang aku, semuanya"

"Ya mungkin saja" jawab Figo, ambigu.

"Kau bahkan tak menyukaiku"



**********

Figo's Point Of View


"Kau bahkan tak menyukaiku"

Ah.
Ya. Kau benar, seruku dalam hati. Tapi apa harus menyukai untuk peduli? Banyak alasan mengapa seseorang bisa menjadi baik tanpa permainan perasaan. Aku peduli hanya karena aku ingin. Aku juga cuma sedikit peduli. Tak banyak. Tapi kenapa aku peduli?
Entahlah.

Karena aku nyaman saat berada di sisimu.
Karena aku merasa tenang saat kau duduk disampingku, berada di sepanjang kekuasaan mataku.
Karena aku merasa damai saat aku tahu kau berbagi udara yang sama denganku.
Karena aku merasa berharga saat kau selalu memanggilku.
Karena aku ingin selalu, selalu, selalu melindungi senyummu yang seringkali menyeringai tipis setiap menatap langit.
Karena saat bersamamu, waktu terasa begitu berharga.

Cuma karena itu.

Tunggu.

Alasan-alasan itu..

Apakah cinta?

Bukan. Bukan seperti itu. Aku tak berdebar-debar saat berada di dekatmu. Aku justru merasa hangat dan nyaman.

Hangat dan nyaman.

Ah. Sial. Apa itu cinta?

Aku menggeram tertahan. Semua terasa menyesakkan. Aku tak pernah sadar aku selalu berlari setengah kesetanan setiap kau memanggilku lewat pesan singkat. Sejauh apapun kakiku berada, kapanpun kau membutuhkanku, akan kutarik keduanya tanpa jeda. Pun setiap aku melihat matamu yang memerah setiap kita bertemu, rasanya seperti ada luka di hatiku. Luka yang mengering di luarnya, tapi masih menyimpan ribuan goresan basah di dalamnya. Goresan yang begitu panjang dan dalam. Jangankan dibuka, disentuh saja rasanya nyeri. Dan di dalam goresan itu, seperti ada ribuan jarum yang bersembunyi di bawah kulit. Jika dibiarkan, jarum tersebut akan menciptakan luka luka baru. Menyemaikan rasa sakit yang tumbuh semakin subur. Tapi bila jarum jarum itu dicabut, entah seperti apa perihnya. Berapa lapisan yang harus ditembus? Berapa teriakan yang harus ditahan? Berapa ngilu yang harus ditelan?

Rasanya perih, menebakmu terluka karena pasanganmu.

Dan mendadak mataku nanar. Kilatan memori mengacaukan jarak pandangku. Emosiku tertahan di kerongkongan.

Sesak, sesak sekali.

Dan tanpa kode apapun, aku langsung menarik tubuh Ruuga pelukanku. Tanpa berpikir apapun, aku langsung melenyapkan jarak diantara bibir kami. Menenggelamkan bibirku dengan kasar kedalam bibirnya. Memaksanya membuka mulut, memaksa lidahku masuk.

Aku bisa merasakan mata Ruuga melotot. Aku bisa mendengar jantungnya berdetak kencang nyaris pecah karena terkejut.

Tapi aku tak peduli, semakin erat bibirku mengunci bibir perempuan bermata cokelat itu.
Dan Ruuga hanya diam. Tak membalas, sama sekali tak membalas, tapi juga tak melepas.

Ini salah. Ini lebih dari salah.

Aku sangat tahu.

***********

To be Continue

********

Tidak ada komentar :

Posting Komentar