Selasa, 30 Juni 2015

Goodbye Part 2

Tidak ada komentar :
Hujan pernah bernyanyi
Ia merindu Matahari
Kala semusim semi datang membawa cawan
Menadahkan butiran keajaiban
Sewarna pelangi pagi
Bermuara di tepi telaga

Hujan masih menunggu malam
Agar ia bisa turun tanpa bersembunyi
Serapuh titian langit yang mengembang
Mencoba lari
Dari perasaan yang menyetubuhi


Angin malam berhembus damai. Menggoyangkan dedaunan yang bertengger manis di dahan cherry. Sesekali suara serangga malam memecah sunyi. Menjadi senandung alam di tepian danau yang berair jernih.
Sepasang manusia, di sudut kedai kecil, tengah bergelut dalam sepi. Bibir mereka menyatu, pun dengan jemari yang awalnya hanya menggapai udara, kini bertaut tanpa jarak.
Sekian menit kemudian, Figo, sang pria tsb, melepas kuncian salivanya.
Ia menunduk, tanpa suara. Sedangkan Ruuga kembali membuang muka. Perempuan itu terlalu shock untuk hanya sekedar menganalisa apa yang baru saja terjadi. Jantungnya masih berderu liar, setengah dari tubuhnya masih gemetar, dan matanya menjadi sewarna dengan kaca. Ia berharap ini cuma ilusi

"Maaf" sepotong suara baritone menyentak kesadaran Ruuga. Ia yang berharap ini cuma tipuan imajinasi, berangsur meletakkan kesadaran pada tempatnya. Berarti memang benar, Figo baru saja menciumnya.

"Kenapa?" cicit Ruuga. Diberanikan dirinya menatap pria berparas tampan itu. Ditatap lekat-lekat kolam jernih yang tersembunyi dibalik bola mata Figo. Mencari jawaban.

"Aku tak tahu. Aku tak sengaja. Hanya emosi sesaat. Abaikanlah" kilah Figo.

Ruuga menggigit bibir bawahnya kelu. Bukan jawaban itu yang ia harapkan. Hei, apa kau mengharapkan Figo mengatakan ia menyukaimu? Ruuga merutuki inner sialannya.

"Maaf. " Sekali lagi. Figo mendesiskan kata itu.

Ruuga menunduk.

Helaian rambut panjangnya dibelai dengan lembut. Sebuah tangan kekar menyibak poni yang menutupi keningnya. Sejurus kemudian tangan itu meraih dagu Ruuga. Mengajaknya menatap kembali lawan bicaranya.

"Katakanlah aku brengsek. Tapi aku tak pernah merencanakan hal tadi. Aku tak bermaksud me.. Ya menciummu. Semua cuma reflek bodohku. Lupakanlah. Anggap tak pernah terjadi. Jalani semua seperti biasa. Bertemanlah denganku sebisamu. Toh jika kau menikah, dan tak bisa lagi berteman denganku, tak apa. Mungkin kita cuma sepasang musim yang bertemu di tahun yang salah"

Sepasang musim yang bertemu di tahun yang salah?

Ruuga mencoba mencerna kata-kata Figo barusan. Tapi tak ada makna yang ia petik dari kiasan rumit itu.

Figo berdiri.

Ia tak bisa lama-lama disini. Ia tahu. Ia bisa merasakan otak sehatnya tak bisa berfungsi dengan baik bila ia lebih lama menatap Ruuga. Bibir tipis perempuan itu, ah entah sejak kapan berubah menjadi pusaran air yang menghisap kesadarannya. Udara yang biasa ia bagi dengan Ruuga, entah sejak kapan menjadi racun yang menyesakkan dada.

"Aku pamit. Magenta sudah kelaparan. Aku harus memberinya makan. Kau bisa pulang sendiri kan? Atau perlu kupanggilkan Taxi?"

"Tidak, terimakasih. Aku masih ingin disini. Mungkin nanti aku akan meminta Maru menjemputku"

'Jadi, nama pria itu, Maru?' Gumam Figo dalam hati.

Figo memaksakan kedua sudut bibirnya tertarik ke atas. Membentuk lengkungan lebar yang ia percaya pasti terlihat sangat palsu. Tapi tak apalah, daripada memasang raut perih yang menyedihkan.

Ruuga melambaikan tangannya ketika punggung Figo berbalik dan mulai memudar ditelan jarak. Punggung itu semakin mengecil kemudian menghilang dibalik malam.

Ruuga merasakan dadanya semakin sesak. Liquid bening yang sedari tadi bergolak ingin jatuh, akhirnya berceceran di sudut matanya. Merembes tanpa permisi. Menyusuri pipi dan wajahnya. Menjadi teman dari isakan pahit yang coba ia telan setengah mati. Tapi ia gagal. Ia tergugu dalam sesak. Membuat nafasnya tersenggal senggal menetralisir emosi.

Ia seharusnya mengakui kalau ia lemah.

Seharusnya ia menangis saat Figo masih disini. Paling tidak, akan ada tangan hangat yang mengusap punggungnya. Menyapu bercak air matanya.


Tapi, egonya tak mengijinkan hal itu.


**********

Malam Seribu kejutan, 60hari kemudian

Ruuga's Point Of View

Aku kembali mengulaskan pewarna bibir berwarna merah muda itu dengan lembut. Lalu mengulum bibirku singkat. Memastikan warnanya cukup merata dan tidak terlalu kontras dengan kulit langsatku.
Suara ketukan menggema dibalik pintu kamarku.
Pasti Maru.

"Masuklah" jawabku.

Pintu berdecit. Seorang pria berkaca mata muncul dengan tenang. Seketika aroma maskulin menyeruak ke seisi kamar.

Maru mengecup puncak kepalaku.

"Kau sudah siap?" tanyanya hangat.
Aku mengangguk.

"Ini kan cuma makan malam keluarga" ujarku.

"Haha. Kau selalu tak peduli dengan apapun. Sepertinya kau sama sekali tak pernah merasa gugup."

"Kau berkata seolah baru mengenalku selama beberapa hari" ejekku sambil membalikkan tubuh. Bangkit dari meja rias, lalu menghadap pria yang beberapa puluh hari lagi akan menjadi suamiku.

Maru memelukku kemudian. Menenggelamkan wajahnya di sudut antara leher dan kepalaku. Mengusap punggungku penuh perasaan.

"Aku memang sudah mengenalmu selama puluhan tahun. Bukankah kita sudah bersama semenjak Taman Kanak Kanak? Dan juga, aku tak mungkin lupa kalau aku sudah menandaimu menjadi milikku saat kita memasuki bangku Sekolah Menengah Pertama. Jadi, sudah berapa tahun kita menjadi sepasang kekasih?"

"12tahun" jawabku di luar kepala.

"Anak pintaaaar"

Maru mencubit pipiku gemas. Aku tersenyum kaku.

12tahun.
Bukan waktu yang singkat. Pria yang ada di hadapanku ini adalah penguasaku. Sedangkan aku adalah poros hidupnya. Rumit? Benar.
Semua yang ada di dalam diri Maru adalah kesempurnaan. Ia tampan. Sangat tampan. Seperti porselen mahal yang berkilauan. Wajahnya menarik, juga perilakunya. Ia seorang pria bangsawan yang sopan dan penuh perhitungan. Otaknya cemerlang. Jangan tanyakan kenapa ia bisa lulus jauh lebih cepat dariku meski kami seumuran. Salahkan kecerdasannya.
Ia adalah lagu dengan melody yang indah.
Tak ada cacat. Mungkin itulah yang semua orang lihat dari binar terangnya yang memukau.
Mungkin bagiku ia juga sempurna.
Ia kekasih yang sangat mencintai pasangannya. Ia adalah satu dari sedikit pria yang terlalu setia terhadap wanitanya. Ia adalah bumi yang selalu berputar pada satu poros.

Aku.

Ia bukan sekedar mencintai.

Ia terobsesi. Ia tergila-gila. Ia sakit jiwa.

Bagaimana mungkin? Entahlah.

Beruntungkah aku menjadi segalanya bagi Maru? Entahlah.

Aku adalah kelemahan terbesar Maru. Tapi juga kekuatan dan nyawa pria berwajah teduh itu.
Ia akan menghabiskan semua udara yang ada disekitarku bila aku bertukar pandang dengan pria lain.
Ia akan bertransformasi menjadi monster haus darah bila aku membiarkan pikiranku berkelana pada objek lain.
Ia akan mencabik cabik setiap inci bagian dari siapapun yang berani menyentuh seujung kuku dari diriku.
Ia tak akan takut untuk menyakitiku bila aku berani sedikit saja melangkah melewati garis kepemilikan yang telah ia ukir sendiri. Tanpa persetujuanku.

Ahh. Hanya memikirkannya membuat sesakku membuncah.
Dan membuat jiwa jalangku merindukan Figo.


End of Ruuga's Point Of View

********


"Ayahmu akan datang ya?" tanya Maru hati hati. Pria itu tahu. Ruuga sangat sensitif setiap membahas pria yang menjadi asal muasal kehidupan perempuan itu.

"Sepertinya" cetus Ruuga singkat.

Ayah Ruuga sudah keluar dari kehidupannya semenjak ia membuka mata untuk pertama kali. Ruuga hanya salah satu anak dari sekian banyak perempuan yang bandit tua itu miliki. Ruuga pun tak tahu pasti, berapa istri ayahnya, berapa banyak saudara sedarahnya. Sepertinya jari di tangannya tak cukup untuk menghitung.

Restoran mewah itu tampak cukup lenggang. Faktor dari jarak meja ke meja yang lumayan jauh. Sepertinya memang didesain untuk acara formal. Beruntung, mereka mendapat reservasi di meja yang strategis. Meja yang terletak di pinggir kolam, dengan lilin aromatherapy yang mengambang indah. Serta gemericik suara air, mengalir dari pancuran yang di desain elegan.

Air.
Kolam.
Danau.

Dan Ruuga kembali mengingat Figo. Sosok yang tak pernah ia nikmati bayangannya selama 2bulan belakangan.
Ruuga merutuki pikirannya sendiri.

"Kata ayahmu, 5 menit lagi beliau sampai" terdengar suara feminim memecah lamunan Ruuga. Ruuga hampir lupa, di samping kirinya ada ibunya. Yang entah mengapa masih menghormati dan menyayangi ayah Ruuga.
Dan di samping kanannya ada Maru, lengkap dengan kedua orangtua priab tsb.

Suasana kembali hening. Hanya terdengar obrolan ringan antara ibu Ruuga dan ibu Maru.

Waktu berjalan lamban. Ketika pada akhirnya sosok yang ditunggu tunggu datang.

"Selamat malam semua, maaf agak terlambat" ayah Ruuga membungkukkan tubuh. Lalu menyalami semuanya dengan hangat.

Ruuga mendongak. Mencoba tersenyum tipis.
Tipis
Tipis
Tipis

Lalu mendadak lenyap tanpa sisa setitikpun, ketika kornea matanya bertabrakan dengan sosok yang berdiri di samping ayahnya.
Ya ayahnya tidak datang sendiri.
Ayahnya bersama..

Figo.

Seketika nafas Ruuga tercekat. Tenggorokannya tak mampu berfungsi dengan sempurna. Begitupula sebaliknya, Figo, dibalik wajah minim ekspresinya, menguar aura keterkejutan yang hanya bisa dilihat oleh Ruuga.

Ini,

Apa?

"Oh ya, sekalian saya perkenalkan anak sulung saya. Saya sengaja membawanya untuk perwakilan keluarga besar. Figo, perkenalkan dirimu"

Dan mendadak dunia Ruuga menjadi gelap.

*********

Semilir oh Semilir
Menguasai rerumputan
Saat sang Semi datang
Pergilah Hujan
Saat Matahari menghilang
Datanglah bayangan
Dan kita menjadi kabut kabut palsu
Yang ditipu penguasa waktu


*********

To be Continue

*********


Kyaaaa ngetik sambil merem. Wkwkwk. Mau ditamatin, tapi tiba2 alur cerita berubah. Jadi kemungkinan 1 chap lagi. Haha.

Makasih yang udah apresiasi, love you all

Tidak ada komentar :

Posting Komentar