Selasa, 30 Juni 2015

Goodbye Part 3

Tidak ada komentar :
Kau merintih dalam bisu. Menyusupkan jarum jarum berkarat ke dalam sudut hatimu, ah bahkan rongga dalam hati yang kau punya sudah terlalu berlubang, terlalu banyak lubang. Sampai sampai kau selalu terjerembab setiap kali melangkah. Jarum jarum yang kau semai itu, hanya menggesek dan menancap rapuh. Tapi kau tak berhenti. Kau tak bisa menghentikannya.
Kau menikmatinya, eh?
Kau tertawa dalam perih. Lagi lagi.
Menertawakan kehidupan macam apa yang kau punya.
Seorang laki-laki memuntahkan benih dalam rahim ibumu, lalu muncullah kau. Laki laki sialan yang seharusnya kau panggil ayah, tapi hanya muncul beberapa tahun sekali. Bahkan di akte kelahiranmu, hanya muncul nama ibumu. Tidak mengherankan bukan? Sedari awal kau sudah tahu ibumu hanya satu dari sekian banyak selir pria tua itu.
Lucu.
Bahkan ibumu pun tak terlalu peduli. Ia masih bisa menikmati hidup,
Tidak dengan kau.
Ibumu sudah menggelepar penuh tawa dengan gelimangan harta yang ayahmu taburkan tanpa perhitungan.
Tapi tidak dengan kau.
Kau terluka. Sangat terluka. Ayah yang tak pernah membelai rambutmu, ibu yang tak pernah memeluk punggungmu.
Lalu, datanglah pria itu. Pria yang berdiri di depanmu dengan tameng bajanya. Melindungimu dengan sangkar emasnya.
Menghujanimu dengan jutaan jarum, yang ia bilang cinta.
Pria itu, menjadikanmu dunianya. Dunianya adalah wilayah yang tak boleh disinari matahari, karena ia takut kuncup bunga akan mekar dan mengundang kumbang. Ia juga tak mengijinkan angin mengepakkan sayapnya mendekatimu, karena ia takut kau akan belajar terbang dan mencari jalan pulang. Ia hanya membiarkanmu dibalut hujan. Karena hujan selalu memperangkapmu.
Dan kau tak pernah bisa kemana mana.
Kau sudah kehilangan cahaya, sejak lama.
Semua adalah takdir yang kau terima tanpa penawaran. Kau tak pernah berusaha untuk mengangkat dagu bukan? Setiap inci dari hidupmu telah tersegel oleh kekasihmu, dan kau cuma diam. Kau cuma pecundang yang bahkan tak punya teman.
Teman?
Mendadadak kepalamu pening. Ratusan keping kenangan berpendar menjerit jerit dalam tempurung kepalamu. Seolah olah ada cambuk yang memaksa kepingan kepingan itu berputar.
Senja.
Kopi.
Angin.
Pohon cherry.
Danau.
Suara baritone.
Figo.
Dan kau kembali tercekat.
"Ibuku pernah bilang aku punya beberapa adik"
Suara baritone itu. Menampar kesadaranmu.
Kau mengejap kejapkan mata beberapa kali. Mencoba menata lubang memori yang tersusun acak.
Kau menelan ludah dengan sesak.
Kau disini, bersamanya. Di kedai yang sama. Di depan hamparan air danau yang serupa warna langit, tapi menghitam karena pantulan malam.
Dengan angin yang sesekali memainkan ujung rambutmu, dan suara serangga nakal yang menggoda sepi.
Hari ini, hari kedua sejak kau mengetahui jati diri pria yang selama setahun belakangan ini mengacaukan aliran darahmu, menuangkan cat biru ke dalam auramu yang semula suram, dan membunuh berlahan sepi yang selama kau ini kau anggap sebagai sejatinya teman.
Perlu puluhan jam sejak pertemuan mengejutkan itu, ketika kemudian, beberapa saat yang lalu, pria tsb mengirimkan pesan singkat, untuk bertemu. Kali ini sebagai kakak, bukan sebagai matahari.

"Ibuku pernah bilang aku punya beberapa adik" ulang Figo. "Tapi tak kusangka kau adalah salah satunya" lanjut Figo, mendesah. "Dunia memang sempit, yaa?" desisnya.
"Maafkan aku" ujarmu, menahan sesak.
"Untuk apa?" tanyanya.

Kau membelai rambut hitam cepak -milik pria itu - untuk pertama kalinya-. Ahh kau bertaruh pasti jantungmu akan meledak beberapa menit lagi.

"Untuk semuanya. Untuk kesalahan ibuku. Untuk keberadaanku. Untuk penderitaan ibumu.. Ibumu istri pertama pria tua itu kan? Pasti tak mudah, menerima kelakuan... Ayah kita" ucapmu menahan perih.

Figo tersenyum. Raut mukanya yang semula tajam, kini melembut.
Ia berbalik menatapmu. Menyebarkan sorot mata teduh, yang menenangkan,  sekaligus menyesakkan. Kau berniat membuang muka, tapi sepasang tangan kekar menahan wajahmu, agar tetap berada segaris dengan netra safirnya.
Dadamu bergemuruh. Kau belum bisa.
Debaran yang tak seharusnya ada itu memenjarakan ekspresimu. Ingin, ingin sekali kau menangis tersedu sedu. Memuntahkan emosi yang menganak sungai. Mengubur perih yang membuncah tanpa alur.

"Kau tak seharusnya minta maaf. Tak ada yang salah, ibumu, ibuku, ayah, dan kita. Tak ada terdakwa disini. Kita semua berada di sebuah garis lurus yang berhimpitan. Saling terkait, tapi melengkapi"

Kalimat yang mengalir lancar dari mulut Figo, merasuki rumah siput di telingamu. Kau tersenyum ketika kalimat itu diproses dengan sempurna oleh otakmu.

"Mau aku ceritakan sebuah cerita tragis?" tawar Figo.

Kau mengerutkan kening. Apalagi ini? Kau masih terbuai oleh kehangatan kata kata Figo tentang saling melengkapi, tapi tentang cerita tragis? Apakah emosimu akan kembali berdansa kacau? Kau sadar, kau sangat mudah diperdaya suasana hati, apalagi oleh pria yang tengah menatapmu lekat lekat saat ini.

"Baiklah" cicitmu. Kau takut. Kau takut bila kau bilang tidak, ia akan membalikkan tubuh lalu melangkah pergi. Kau belum siap untuk berbagi malam dengan sang sepi.

"Aku menyukaimu"

Kau membelakkan mata. Ada sejuta letupan di dadamu. Kau tak mengerti apa itu. Yang kau tahu, percikan air telah lolos dari sudut matamu. Kau menangis - untuk pertama kali- di hadapan Figo, kakakmu.
Dan ia bukan tak sadar melihat wajahmu yang mulai basah. Ia sama sepertimu, tercekat oleh sebongkah sesak yang menghimpit dalam-dalam.

"Pada akhirnya, aku harus mengatakannya. Kau harus memulai sesuatu sebelum mengakhirinya kan? Dengan ini, dengan resmi, aku melepasmu."

Kau masih membisu. Mencoba mengambil nafas dalam dalam. Tapi kau gagal. Kau justru tergugu. Dadamu sesak. Kebisuanmu bertransformasi menjadi tangisan tertahan yang menyedihkan.

Kau meraung semakin keras. Emosi yang kau tahan sekian lama meledak tanpa bisa kau cegah. Kau yang biasanya menangis di sudut kamar, menangis sendiri ditemani sepi. Kau yang biasanya punya kontrol luar biasa atas emosimu. Mendadak hilang kendali. Ahh, tak mengherankan, bukankah sumbunya telah terpantik sedari awal. Hanya saja kau selalu meniupnya dengan sisa-sisa nafasmu. Kau lelah. Kau lelah sekali. Kau ingin berlari dan bersembunyi. Kau lelah. Kau sangat lelah. Kau sudah tak mampu bertahan lagi.
Kau merasakan sebuah lengan menarikmu. Lalu kau bisa merasakan udara di sekitarmu menghangat. Sebuah pelukan. Dan tangismu semakin memburu. Pertama kalinya, kau melepaskan topeng tegarmu, yang bahkan Maru pun tak pernah melihatnya.

"Jauhkan tanganmu dari kekasihku, BANGSAT!!"

BUAAAGHHH!

Semua berkelebat dengan cepat. Ketika kau sadar, kau sudah berada dalam cekalan seseorang. Dan satu meter di depanmu, kau bisa melihat kakak tersayangmu tengah tersungkur setelah sebelumnya menabrak meja. Sudut bibirnya robek. Jangan tanya siapa pelakunya.

"Terimakasih atas salam perkenalannya, Tuan Maru. Manis sekali. Senang berkenalan dengan Anda" Figo menyeringai. Ia menjilat sisi bibirnya yang terluka dengan ekspresi mengejek. Kau bisa melihat ia bangkit dengan sedikit limbung. Sepertinya punggungnya terluka saat menabrak meja.

Di sisi lain, ekor matamu menangkap rahang Maru mengeras. Tangan kanannya mengepal, hingga buku jarinya berubah memutih. Sedangkan tangan kirinya mencengkeram tangamu dengan sangat protektif. Sensasi perih menjalar berlahan di tanganmu. Kau kesakitan.

"Maru, sakit. Lepaskan" bisikmu tertahan, sepelan mungkin. Berharap hanya kekasih liarmu yang mendengar.

Tapi sayang, cicitan lemahmu terdengar sampai ke telinga Figo. Oh, sepertinya kau harus mulai waspada terhadap pendengaran tajamnya.
Figo mengalihkan pandangan ke tanganmu yang dicekal erat oleh Maru. Wajah yang semula menyeringai, mendadak berubah. Atsmosfir dingin khas malam hari, mendadak semakin jauh dari kata hangat, seiring ekspresi serius yang Figo jahit di wajahnya.

"Lepaskan, kau menyakitinya, tuan"

Maru menajamkan tatapan matanya. Dan kau justru semakin kesakitan karena Maru mengeratkan kaitannya.

"Jangan sentuh Ruuga, dia calon istriku"

"Dan dia adikku"

Terdengar bisik bisik di sudut kedai. Beberapa orang tampak menatap kalian dengan ekspresi penasaran. Kau tahu? Kau seperti gadis manis di drama korea yang diperebutkan 2 chaebol tampan.

Kau menahan nafas. Kau tak menyukai situasi ini.

"Maru, ayo pulang." Kau menepuk dada Maru dengan satu tanganmu yang bebas. Maru mendengus. Ia merasa menang, ia diatas awan.

"Kau pulang denganku, Ruuga. Pria itu, tak akan pernah menjadi suamimu!" teriak Figo lantang.

Kau terisak. Bukan. Bukan ini yang kau mau. Kau memang ingin bahagia, kau memang ingin lepas dari cangkang yang Maru cetak pada tubuhmu. Tapi kau juga tak ingin siapapun terluka, tidak Maru, tidak Figo. Tidak ada yang boleh terluka!

"Cih, kakak macam apa kau! Kau baru mengenalnya semalam. Kau tahu, aku sudah bersamanya saat kau masih mengisap jempolmu!"

"Hei hei. Jangan terlalu sombong, tuan. Kau memang kekasihnya. Tapi sepertinya kau tak bisa memperlakukan kekasihmu dengan baik. Apa kau pernah menanyakan apa ia bahagia bersamamu"ejek Figo.

"BRENGSEKK!!"

BUAAAGHHH!

Kau menjerit. Kepalan tangan Maru yang mengeras lagi lagi menghantam salah satu sisi kepala Figo.
Kali ini Figo tak tinggal diam. Detik selanjutnya kau menyaksikan kedua orang yang mengisi hidupmu tengah bergelut dengan liar. Saling menendang, saling memukul, saling menghantam, saling menginjak.

Kau semakin histeris. Kau tak tahu harus berbuat apa. Kau kembali merasa tak berguna. Tapi.. Tapi kau harus berbuat sesuatu.

Kau melompat ke tengah arena. Menarik tangan Maru yang hendak melayangkan tinju ke wajah kakakmu. Kau memeluknya. Kau menangis. Kau tergugu dalam isakan perih.

"Cukup Maru, cukup." Kau menenggelamkan kepalamu dalam bidang dada kekasihmu.

Nafas Maru menderu kacau.

"Biarkan aku pergi, sebentar saja. Aku akan kembali. Aku pasti kembali. " jeritmu dalam pilu. Kau memeluk Maru, penuh emosi. Kau berjinjit semampumu, mencoba menyamakan tinggimu dengan tinggi Maru yang jauh diatasmu. Lalu dengan sekejab kau mengecup bibir Maru singkat. Meninggalkan goresan ekspresi keras yang mulai memudar di wajah kekasihmu.

Kau lupa, tak jauh dari tempatmu berdiri, seraut wajah tampan tengah membuang muka. Ia, kakakmu, mendecih kesal. Wajah yang biasanya minim ekspresi itu mendadak menanggalkan image cool-nya. Ia cemburu, mungkin.

"Biarkan aku pulang dengan kakakku" cetusmu.
Maru mengerling tak rela. Ia menahan nafas. Tapi kecupan yang hanya sepersekian detik tadi, mampu membunuh naluri monsternya. Ia berfikir sejenak. Ditelisik tiap sudut wajahmu. Matamu yang sendu, membuatnya melemah.

"Besok aku jemput kau dirumah. Ingat itu" Maru berbalik arah dan pergi tanpa aroma. Meninggalkanmu yang tengah membantu Figo berdiri.

Kau mendesah, nyaris saja liquid bening kembali menggenangi matamu kalau saja sebuah tangan kokoh mengacak acak rambutmu.

"Ayo, aku antar pulang"

Dadamu yang sesak berlahan mendingin. Bahumu direngkuh, dituntun seolah kau adalah kaca yang rapuh.
Dan kalian berjalan menghilang melenyapkan tatapan para penggunjing di sudut kedai.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar